Blogger Widgets DUNIA SASTRA DAN BAHASA: Oktober 2015

Jumat, 02 Oktober 2015

Lain Dulu Lain Sekarang


Lain Dulu Lain Sekarang

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Proses Kreatif

Oleh:
Miftahul Huda
12321716
Semester 3 B Pagi

Dosen Pengampu:
Sutardi, S.S, M,Pd.


PROGRAM STUDI
PENDIDKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS ISLAM DARUL ULUM LAMONGAN
2014

LAIN DULU LAIN SEKARANG
Cerpen: Miftahul Huda

                                                                                          
Terhenti langkah ku malam itu, saat kulangkahkan kakiku ke dalam sebuah rumah yang sudah cukup lama aku incar dan intai selama tiga bulan belakangan ini. Rumah ini cukup megah untuk lingkungan sekitar yang masih sepi bangunan rumah di samping kanan dan kirinya. Lingkungan ini masih sepi perumahan karena memang merupakan lahan yang baru saja dibuka untuk  keperluan program pemerintah lima tahun yang lalu, yaitu transmigrasi yang bertujuan untuk pemerataan penduduk di daerah yang memang padat penduduknya. Selama tiga bulan aku mengintai rumah, aku mengetahui rumah ini berpenghuni sepasang suami istri yang sukses dengan usaha pertanian yang mulai dirintis setelah mereka transmigrasi. Sepasang suami istri ini jarang menempati rumah megah ini, mereka lebih suka dan merasa nyaman untuk menginap di gubug kecil dekat sawah mereka yang jaraknya kira-kira 100 meter dari rumah ini. Aku semakin memantapkan tekad ku untuk menjarah harta benda rumah ini, setelah kuketahui hanya mereka berdua yang menempatinya. Tidak ada seorang pembantu, satpam, atau  bahkan orang lain yang ada di rumah ini selain mereka berdua.
Sudah hampir enam tahun ini, Aku meninggalkan orang tuaku, rumah, serta kampung halamanku untuk mencari kerja di luar. Selama satu tahun, aku bekerja sebagai tukang bersih-bersih salah satu masjid di surabaya. Tepat setelah satu tahun aku bekerja, aku ditawari oleh sepat setelah satu tahun aku bekerja, aku diatwari oleh sepat setelah satu tahun aku bekerja, aku diatwari oleh sepat setelah satu tahun aku bekerja, aku diatwari oleh sepat setelah satu tahun aku bekerja, aku diatwari oleh sepat setelah satu tahun aku bekerja, aku ditawari oleh seseorang untuk bekerja di kalimantan sebagai salah seorang pelayan restoran disana dengan membayar uang sebesar 1 juta rupiah sebagai persyaratan utama untuk mendaftar dengan jaminan pasti diterimanya pendaftar sebagai pelayan. Setelah itu, aku meminta waktu satu hari untuk mempertimbangkan serta menghitung uang tabungan, yang telah aku kumpulkan selama satu tahun bekerja sebagai tukang bersih-bersih. Kemudian satu hari setelahnya, aku memutuskan untuk ikut mendaftar dan sisa uang tabunganku tadi aku kirimkan ke orang tuaku yang ada dikampung halaman beserta sepucuk surat berisi kabar mengenai diriku dan niatanku untuk pergi bekerja ke pulau kalimantan sebagai seorang pelayan.
    Satu minggu setelah aku mendaftar, adalah hari pemberangkatan aku dan orang-orang yang aku rasa juga telah ikut mendaftar sebelumnya. Kami berangkat ke kalimantan menggunakan kapal laut. Ketika akan sampai di pelabuhan, aku ditawari minuman. Karena aku memang merasa haus ketika itu, aku tidak menolak dan lansung meminumnya. Akan tetapi tidak lama setelah aku meminumnya, aku merasa mengantuk dan mulai  tertidur.
Ketika bangun, aku sungguh bingung. Karena aku berada di pinggiran jalan sendirian, yang belum ku kenal. Dengan hanya menggunakan pakaian yang telah kupakai sebelumnya, sementara dompet, tas, uang, pakaian dan hand phone ku sudah tidak bersamaku lagi. Setelah itu aku mulai mengingat-ingat kejadian sebelum aku tertidur dan baru setelah itu, aku sadar kalau aku telah tertipu oleh orang-orang yang bersamaku dikapal tadi. Akhirnya kuputuskan untuk mulai berjalan mengikuti jalan. Beruntung setelah aku berjalan, aku menemukan desa transmigrasi ini dan bertemu dengan seorang bapak yang ramah menyapa, serta bertanya ketika melihatku berjalan dengan wajah lusuh memasuki desa. Aku menceritakan semua kejadian yang telah ku alami, sampai akhirnya aku bisa sampai si desa ini. Setelah itu, bapak tadi memintaku untuk tinggal dan bekerja sebagai satpam di rumahnya. Segera setelah itu, aku diajak ke rumahnya yang ternyata sangat megah dan indah untuk ukuran rumah di pedesaan.
Kurang lebih empat tahun setengah aku bekerja di rumah bapak ini sebagai satpam. Aku dan keluarga bapak ini cukup akrab. Pegawai itu berusaha untuk menjadi kepala pegawai dan berencana untuk merebut kekayaan bapak dan keluarganya. Melihat keakrabanku dengan keluarga, ternyata ada salah seorang pegawainya yang tak senang terhadapku dan berusaha menyingkirkanku dengan menuduhku sebagai pembunuh dari bapak majikanku tadi. Bapak memang telah dibunuh oleh seseorang di gudang dekat rumanya, satu minggu sebelumnya secara mengenaskan dengan cara di mutilasi menjadi 19 bagian. Warga kampung yang memang banyak suka kepada bapak dan keluarga ini, karena keramahanya dan kedermawanannya. Tepat satu minggu setelah meninggalnya bapak, pegawai yang bermaksud menyingkirkanku dari keluarga bapak ini, berhasil meyakinkan warga desa! Kalau akulah yang telah membunuh bapak. Segera setelah itu, aku mulai dicari dan dikejar-kejar oleh warga. Mendengar kabar itu dari anak majikanku, segera setelah itu aku bersembunyi dari warga desa yang tidak lama setelah itu datang ke tempatku tinggal dan bermaksud untuk menghakimiku. Sadar telah difitnah, aku merasa kalau aku telah menjadi kambing hitam yang lama kelamaan membuatku frustasi. Tiga bulan setelah aku menjadi buronan desa. Aku memutuskan untuk pergi dari desa, dan berniat untuk mencari pekerjaan yang baru. Dalam perjalananku untuk mencari pekerjaan baru, hampir dalam tiga hari mencari, aku hanya makan nasi satu kali. Lama aku mencari, aku tak kunjung untuk menemukan pekerjaan yang akhirnya membuatku semakin frustasi dan stress berat. Mungkin karena sudah empat bulan ini aku jarang makan. Timbul pikiran burukku untuk mencuri harta benda orang-orang kaya untuk aku gunakan sebagai penyambung hidup. Lama kelamaan setelah aku mencuri disana dan sini, aku mulai terbiasa dengan yang namanya mencuri. Sampai akhirnya aku berniat untuk mencuri di rumah yang ditinggali hanya oleh sepasang suami istri ini.
Langkahku untuk mencuri malam itu di rumah ini terhenti bukan karena aku bertemu dengan penghuni rumah atau orang yang ada didalam, melainkan karena kudapati suara orang yang sedang menangis dan bermunajat kepada tuhan dengan menyebut namaku di setiap doanya. Aku didoakan di setiap doanya. Lama aku mendengarkannya berdoa, aku merasa suara orang yang berdoa dari dalam kamar ini seperti tak asing dengan telingaku dan pernah aku dengar sebelumya. Suara orang ini, mirip sekali dengan suara ibuku didesa tempatku tinggal. Seketika itu air mataku menetes karena mengingat keluargaku di desa yang sudah hampir empat tahun, aku lupa memberi kabar. Malam itu, aku tak jadi mencuri di rumah itu. Aku malah duduk di dekat kamar tempat suara orang berdoa dan merenungi keadaanku kini, yang seorang mencuri. Ditengah-tengah aku mendengarkan suara wanita yang berdoa tadi, aku dikejutkan dengan suara laki-laki yang tiba-tiba memanggil namaku ketika aku duduk di dekat kamar tadi. Seketika itu juga aku mendapati seorang laki-laki berada di dekat tempat aku duduk meratapi keadaanku. Aku sungguh terkejut ketika aku memandang orang yang memanggil tadi adalah bapakku sendiri, yang telah lama aku tinggal lima tahun yang lalu. Wajar kalau aku dapat dikenalinya, karena sebelumnya aku telah membuka peutup kepala ketika aku duduk dan merenungi nasib sebagai seorang pencuri. Terlebih lagi, rumah itu memang masih dalam keadaan menyala lampunya. Aku yang semula berniat untuk lari keluar karena terkejut karena tahu ada seseorang yang memanggilku, hanya bisa terdiam merasa malu dan bingung bertemu dengan bapak kandungku ini. Aku didekatinya untuk memastikan apakah aku ini benar-benar anaknya atau bukan. Bapakku melihat dari mulai ujung kaki hingga ujung rambut dan kemudian merangkulku, dengan menangis haru karena bertemu denganku. Tidak lama setelah itu, bapak memanggil ibuku yang ternyata adalah wanita yang tadi telah bermunajat di kamar tadi. Aku lansung saja berlari dan mencium kaki ibu yang sudah lama tak kutemui.
Malam itu juga, kami sekeluarga saling melepas rindu dan saling menanyakan keadaan. Aku menceritakan apa yang telah kualami selama ini, begitu juga dengan kedua orang tuaku. Dari cerita mereka, aku mengetahui kalau mereka melakukan transmigrasi ke kalimantan bertujuan untuk mencariku karena sudah lama tidak bertemu atau mendapat kabar dariku. Kedua orang tuaku menangis ketika mereka mengetahui ceritaku dan menerima keadaanku sebagai seorang maling. Kemudian setelah itu, mereka menyuruhku untuk tinggal bersama di rumah yang semula mau aku curi ini.
Hari-hari setelah itu, aku mulai tinggal dengan orang tuaku dan membantu mereka bertani, aku dan keluargaku kini hidup bahagia  bersama. Genap enam bulan setelah aku tinggal dengan kedua orang tuaku, aku diminta untuk segera menikah. Untuk wanitanya, orang tuaku sudah mempunyai calon istri untukku. Aku mengiyakan saja, keinginan orang tuaku. Karena aku tak ingin menjadi anak yang durhaka untuk kedua kalinya setelah dulu, menjadi seorang maling.
Istriku adalah seorang wanita yang cantik, baik fisik maupun hatinya. Darinya aku menjadi seorang bapak dari dua anak yang telah dilahirkannya. Aku sungguh bahagia, dengan keadaanku sekarang bersama kedua orang tua, istri, dan dua anakku. Aku bersyukur kepada Tuhan yang telah memberikanku, kebahagiaan dan mempertemukan aku dengan kedua orang tuaku setelah cukup lama terpisah.

Sekilas, Menilik Napak Tilas Kadipaten Sidayu



­
Kanjeng Sepuh &
KADIPATEN SIDAYU


Disusun untuk memenuhi tugas
Mata kuliah : Sejarah Sastra

 
Dosen pembimbing :
Sutardi, S.S, M,Pd.


Oleh :
Miftahul Huda
 semester II B kelas pagi
NIM : 12321716



JURUSAN BAHASA DAN SATRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU KEGURUAN DAN PENDIDIKAN
UNIVERSITAS ISLAM DARUL ULUM
LAMONGAN
2013


Kata Pengantar

            Segala puji bagi Allah SWT, tuhan semesta alam yang telah memberikan rahmat, hidayah serta inayahnya kepada kita semua, sehingga kita semua masih bisa menghirup udara segar di sekiling kita.
            Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada nabi sang penguasa samudera syafaat, sang revolusi dunia, nabi kita Muhammad SAW yang telah menunjukan kita dari jalan yang penuh kesesatan, kedloliman, kekufuran menuju jalan yang terang benderang yaitu berupa ajaran islam wal iman.
            Akhirnya, setelah melewati proses yang panjang, tugas ini dapat terselsaikan juga, dan dengan terselsaikannya tugas ini, saya menghaturkan ribuan ucapan terima kasih kepada :
1.      Allah SWT atas segala limpahan rahmatnya
2.      Nabi Muhammad SAW atas tuntunan dan syari`at – syari`atnya.
3.      Orang tua kami dan kerabat yang senantiasa mendukung dan mendoakan kami.
4.      Sutardi, S.S, M,Pd.. selaku dosen mata kuliah Sejarah Sastra.
5.      Teman – teman FKIP Bahasa Indonesia semester 2 kelas B pagi yang secara lansung atau tidak lansung  membantu proses penyelsaian tugas ini.
6.      Semua pihak yang terlibat dalam penyelsaian tugas ini yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu.

Tak ada gading yang tak retak, banyak sekali kekurangan dalam penyelsaian tugas ini, oleh karena itu, penyusun memohon kritik dan saran yang membangun bagi penyusun sendiri khususnya dan bagi seluruh insan pada umumnya. Sekian dan terima kasih.
Penulis                        




Kanjeng Sepuh &
KADIPATEN SIDAYU

          Kanjeng sepuh merupakan tokoh asal sidayu, gresik, yang namanya cukup harum hingga sekarang. Tak heran bila kemudian banyak masyarakat yang menziarahi makamnya untuk berbagai tujuan. Mulai yang ingin bisnisnya lancar hingga ingin jabatannya naik.
Kecamatan Sidayu hanyalah satu di antara 18 kecamatan di Kabupaten Gresik saat ini. Namun, kecamatan tersebut meninggalkan bukti-bukti sejarah kebesaran sebagai bekas sebuah kadipaten pada masa lalu. Jejak sejarah Ka­bupaten Gresik bisa dilihat dengan jelas di bekas Kadipaten Sedayu yang kini menjadi Kecamatan Sidayu. Ber­bagai peninggalan masih membekas sebagai ikon sebuah kadipaten di zaman penjajahan Belanda.  Ada pintu gerbang dan pendapa keraton. Ada pula masjid dan alun-alun, serta telaga dan sumur sebagai sumber air Sedayu.
Diperkirakan, situs itu berusia satu abad. Situs tersebut dibangun menjelang perpindahan Kadipaten Sedayu ke wilayah Kadipaten Jombang oleh penjajah Belanda pada sekitar 1910. Sejak berdiri pada 1675, kadipaten Sedayu dipimpin oleh sedikitnya sepuluh adipati. Adipati yang paling dikenal adalah Kanjeng Sepuh Sedayu. Meski hanya sebuah kecamatan, Sidayu rnemiliki alun-alun yang cukup luas dan bangunan-bangunan tua yang cukup megah. Itu merupakan pertanda bahwa Sedayu, atau yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan Kecamatan Sidayu, dulu merupa­kan kota tua yang pernah jaya. Sebelum akhirnya menjadi bagian yang terintegrasi dengan Kabupaten Gresik, Sedayu merupakan wilayah kadipaten tersendiri pada masa pemerintahan Mataram. Istimewanya, Kadipaten Se­dayu saat itu mempunyai koneksitas kewilayahan secara langsung di ba- wah kekuasaan Raja Mataram Prabu Amangkurat I dengan adipati pertama bernama Raden Kromo Widjodjo.
Sebelum akhirnya menjadi bagian yang terintegrasi dengan Kabupaten Gresik, Sedayu merupakan wilayah kadipaten tersendiri pada masa pemerintahan Mataram. Istimewanya, Kadipaten Sedayu saat itu mempunyai koneksitas kewilayahan secara langsung di bawah kekuasaan Raja Mataram Prabu Amangkurat I dengan adipati pertama bernama Raden Kromo Widjodjo.
Nama-nama bupati yang pernah memerintah di kabupaten Sidayu adalah sebagai berikut:
  1. Raden Kromo Widjojo
  2. Adipati Probolinggo
  3. Raden Kanjeng Soewargo
  4. Raden Kanjeng Sido Ngawen
  5. Raden Kanjeng Sido Banten
  6. Kanjeng Kudus
  7. Kanjeng Djoko
  8. Kanjeng Sepuh
  9. Kanjeng Pangeran
 10. Ragen Badrun
Sejarah Kadipaten Sedayu mencatat nama harum adipati ke-8, yaitu pada waktu Kanjeng Sepuh Sedayu. Kanjeng Sepuh dianggap sebagai aulia dan pemimpin besar Kadipaten Se­dayu yang layak mendapatkan penghormatan. Kiprahnya yang kritis terhadap kekuasaan Belanda atau kerajaan lain waktu itu dikenang cukup membanggakan. Di mata warga Se­dayu maupun keturunannya, hingga kini nama Kanjeng Sepuh tetap ha­rum sebagai pemimpin yang berpihak kepada rakyat selama memerintah Sedayu pada 1816-1855.
Kompleks makam Kanjeng Sepuh sendiri berada di Desa Kauman, Keca­matan Sedayu, Gresik. Di kompleks inilah makam Kyai Panembahan Haryo Soeryo Diningrat, Adipati ke-8 Ka­dipaten Sedayu dapat diziarahi. Selain meninggalkan Masjid, Kanjeng Sepuh juga meninggalkan situs penting yang berupa Telaga Rambit dan Sumur Dhahar. Masing-masing bertempat di Desa Purwodadi dan Golokan. Menurut cerita masyarakat Sedayu, keunikan dari keduanya adalah, pemanfaatannya sebagai air minum dan dikonsumsi oleh sebagian besar ma­syarakat Sedayu, namun sumber ma­ta airnya tidak pernah mengering dan habis walaupun pada musim kemarau.
Menurut penduduk sekitar, ma­kam Kanjeng Sepuh ramai diziarahi pada setiap malam Jumat Pahing. Para peziarah datang dari luar daerah dan pada hari itulah biasanya puncak keramaian Kota Sedayu. Tradisi ini banyak mempengaruhi mobilisasi ekonomi masyarakat Sedayu. Selain membludaknya pengunjung Pasar Pa­hing, magnet ini juga mampu menciptakan Pasar Tiban yang tentu saja menggerakkan mnda perekonomian.
Yang istimewa, banyak di antara para peziarah yang mengaku cukup berhasil dalam bisnisnya setelah ziarah di makam aulia ini. Karena itu, setiap ziarah wali tidak sedikit yang menjadikan makam Kanjeng Sepuh sebagai tujuan yang tidak boleh dilewatkan begitu saja. “Setiap ziarah Walisongo, rombongan kami selalu menjadi makam Kanjeng Sepuh yang tidak boleh dile­watkan,” ucap salah seorang peziarah asal Mojokerto. Tak hanya yang usaha dalam bisnis, mereka yang ingin naik jabatannya konon juga banyak yang mengaku cocok berdoa di makam ini.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kompleks masjid makam Kanjeng Sepuh, terdapat unsur-unsur kebudayaan pra Islam. Hal tampaknya sengaja dilakukan untuk untuk menjembatani agar kebudayaan Is­lam sebagai unsur yang baru dapat diterima di tengah lingkungan masya­rakat yang beragama Hindu-Budha.
Untuk memperingati kebesaran Kanjeng Sepuh Sedayu sebagai adipati maupun ulama, masyarakat setempat setiap tahun mengadakan haul dan istighotsah akbar di Masjid Kanjeng Sepuh Sedayu. Acara berlangsung meriah. Prosesi itu menjadi tradisi masyarakat untuk mengenang jasa adipati yang bergelar lengkap Kiai Panembahan Haryo Soeryo Di- ningrat, yang wafat pada 1856.
Sementara itu, catatan (aim) K. Ridwad Ahmad dari Djawatan Penerangan RI Kecamatan Sidayu pada 25 Februari 1957 menyebut, Kanjeng Se­puh Sedayu adalah seorang ahli strategi. Banyak jasa Kanjeng Sepuh un­tuk menenteramkan rakyatnya sekaligus melindungi mereka dari berbagai teror selama masa penjajahan.
Keberanian Kanjeng Sepuh menantang kebijakan Belanda tentang pajak juga menjadi catatan. Adipati dengan berani mengusulkan memberi nama sebuah pasar di Surabaya dengan nama Kabean, yang berarti untuk semua, dalam sebuah rapat dengan pemerintah Belanda waktu itu. Maksudnya, beliau menolak diskriminasi dan kenaikan pajak yang dikehendaki Belanda. Sebab, waktu itu Belanda punya iktikad untuk membeda-bedakan pedagang den­gan maksud menaikkan pajak. Pasar tersebut saat ini dikenal dengan na­ma Pasar Pabean.
Beliau juga dekat dengan rakyat. Diam-diam, di malam hari, be­liau berkeliling ke seluruh wilayah kadipaten, yang meliputi Sedayu, Lamongan, Babat, hingga Jombang, untuk melihat keseharian dan prob­lem masyarakatnya. Berbagal peninggalan sejarah Sedayu sebenarnya telah merldapatkan perhatian Dinas Pur- bakala Trowulan. Namun, yang terawat baru kompleks masjid dan ma­kam. Sisa bangunan lain berupa si­tus, mengenai status pertanahan si- sa-sisa sejarah itu kini belum tersentuh. Salah satunya, reruntuhan asli bekas bangunan masjid di Desa Mriyunan, Sumur Dhahar di Desa Golokan, dan Telaga Rambit di Desa Purwodadi yang nampak tidak terawat. Belum lagi kondisi Sumur Dhahar yang kini menjadi tempat pembuan- gan sampah. Tidak terdapat museum atau bau harum ketika kita berkunjung ke sana, namun bukitan sampah yang kotor dan berbau menyengat.
Dulu di wilayah sekitar Sedayu sering sekali terjadi banjir. Namun berkat kehebatan Kanjeng Sepuh, beliau bisa mengatur irigasi sehingga bisa menghilangkan banjir tahunan. Irigasi itu juga membuat petani di Sedayu bisa panen tiga kali dalam setahun.
Di masa Kanjeng Sepuh, perdagangan di Sedayu juga maju. Dulu, orang Tionghoa cukup banyak membuka usaha di wilayah tersebut. Itu terjadi, karena Kanjeng Sepuh sangat toleran terhadap para pedagang Tionghoa tersebut. “Mereka tetap boleh berusaha, tapi, tidak boleh memelihara anjing,” tambahnya.
Keberhasilan tersebut, membuat Kanjeng Sepuh diagungkan. Banyak kisah yang mengungkapkan keistimewaannya. Salah satunya dalam suatu legenda disebutkan bahwa pada wak­tu itu Kanjeng Sepuh mendapatkan sepuluh undangan di Surabaya dan waktunya bersamaan. “Anehnya, se­puluh orang yang mengundang itu merasa Kanjeng Sepuh hadir,” cerita seorang masyarakat setempat.